يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Yang artinya, “Wahai orang-orang beriman, apabila terdengar azan yang menyeru untuk menunaikan shalat Jumat maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.s. Al-Jumuah:9)
Ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan haramnya transaksi jual beli pada hari Jumat, semenjak azan yang dikumandangkan saat khatib di atas mimbar sampai shalat Jumat selesai dilakukan.
An-Nawawi Asy-Syafi’i mengatakan, “Karena kita katakan bahwa transaksi jual beli saat itu diharamkan maka haram pula berbagai transaksi, kegiatan produksi, dan berbagai aktivitas yang menyibukkan serta menghalangi seseorang untuk berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat Jumat.” (Al-Majmu’, 4:500)
Transaksi jual beli ini hukumnya haram jika salah satu dari penjual atau pun pembeli adalah orang yang wajib menghadiri shalat Jumat. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang keduanya tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat –misalnya: dua orang perempuan mengadakan transaksi jual beli– maka hukumnya adalah tidak mengapa.
Jika transaksi jual beli sudah terlanjur dilakukan, sahkah transaksi jual beli yang dilakukan?
Ulama bersilang pendapat dalam masalah ini. Syafi’iyyah dan Hanafiyyah menilai transaksi tersebut sah namun pelakunya berdosa, sedangkan Imam Ahmad dan Daud Azh-Zhahiri menilai transaksi tersebut tidak sah.
Pendapat pertamalah yang lebih kuat karena larangan dalam hal ini berkaitan dengan perkara di luar transaksi jual belinya itu sendiri.
Referensi: Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah, karya Adil bin Yusuf Al-Azzazi, jilid 3, hlm. 324–325.
Artikel www.PengusahaMuslim.com